Kamis, 31 Maret 2016

Perasaan Menuju Kebuntuan

Terkadang manusia menggukanan perasaannya untuk mengambil tindakan. Entah itu keputusan yang benar atau keputusan yang kurangnya intensitas benar. Tapi seringkali antara perasaan dan akal rasio manusia itu selalu mengalami benturan keras atau selalu berlawanan, sebagai contoh dan juga ini pernah saya alami sendiri. Kasusnya waktu itu di sebuah tempat kos, tepatnya di Malalayang Krida 18 saya merasa sangat lapar dan saat bersamaan pula uang saya habis dan makanan juga tak ada. Terfikir oleh akal rasioku yang mengatakan "bertanyalah makanan pada temanmu dan mintalah sedikit untuk mengisi perutmu yang sedang kelaparan" dan setelah itu timbul pula perasaanku yang dimana ia berkata "jangan minta-minta, malulah sedikit, mau ditaruh dimana mukamu. Gengsi dong". Aku coba benturkan antara keduanya, yang akal sudah menjelaskan serasional mungkin dan perasaan menjelaskan sesofis (egois) mungkin. Akhirnya Socrates (akal) meminum racun untuk meyakinkan bahwa dialah yang benar kepada kaum sofis (kaum perasaan), (kaum egosentris) yang tidak mau menerima kebenaran yang semestinya.
         
           Jika kita menggunakan perasaan dalam pengambilan keputusan (penentu kebenaran) maka kita tidak akan pernah melangkah maju kedepan, melainkan hanya berdiam di tempat pengetahuan yang hanya di dasarkan pada perasaan. Karena walaupun akal berkata benar perasaan akan menolak hal itu. Saya mengutip perkataan dari sang pencerah AoA "Jika (suatu waktu) aku menemukan kebenaran yang lebih kuat (argumentasinya) dari apa yang kuyakini sekarang insyaAllah dengan lapang dada akan kutinggalkan yang lemah dan dengan senang hati ku terima yang lebih kuat."
Prinsip inilah yang harus di pegang oleh setiap manusia agar tidak terjebak pada subjektifitas dan  egosentris yang tidak akan mendapatkan kebenaran yang hakiki.

           Paradigma seperti itulah yang harus dikikis (dihilangkan) karena stigma seperti itu yang akan membawa kita pada kebuntuan.
Tapi bukan saya mengatakan bahwa perasaan itu tidak baik melainkan tempatkanlah perasaan pada tempatnya. Jangan salah menempatkan perasaan, karena jika perasaan di tempatkan pada pencari kebenaran maka kita tidak akan pernah mendapatkan kebenaran sejati (hakiki). Pahami perasaan sebagaimana adanya dan perlakukan sebagaimana ia mestinya.

         Istilahnya sekarang baper (bawa perasaan) atau apa-apa menggunakan perasaan 😄 stop baper kalau ingin mendapatkan kebenaran.
Tulisan ini dibuat Jumat, 1 April 2016. Semoga ini bermanfaat dan bisa menjadi motifasi pada semua pembaca yang membaca tulisan saya kali ini agar tidak baper lagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar